Ramadhan hampir meninggalkan kita dan tiada tersisa daripadanya melainkan sedikit saja Berbahagialah orang-orang yang telah berbuat kebaikan dan menutupnya dengan sempurna. Adapun orang-orang yang telah menyia-nyiakannya maka berusahalah untuk menutupnya dengan kebaikan pula, karena yang dinilai dari amal adalah penutupnya.
Hati orang-orang yang bertakwa selalu merasakan kerinduan kepada bulan Ramadhan ini dan merasakan kepedihan yang sangat apabila harus berpisah darinya. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak menangis ketika berpisah dengannya, padahal dia tidak mengetahui apakah bisa bertemu lagi dengannya atau tidak?, apakah masih ada umur untuk kembali bertemu dengannya?.
Salafush Shaleh Pada Akhir Ramadhan
Allah –subahanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang melakukan ketaatan kepadaNya dalam firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminuun: 57-61).
Ibunda ‘Aisyah –radhiallahu anha berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentang ayat ini, aku berkata: Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr, berzina dan mencuri? Beliau –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menjawab: “Tidak, wahai puteri Ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah dan mereka takut amal mereka tidak diterima (Allah –subahanahu wa ta’ala). Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Para salafush shaleh bersungguh-sungguh dalam memperbaiki dan menyempurnakan amal mereka kemudian setelah itu mereka memperhatikan dikabulkannya amal tersebut oleh Allah –subahanahu wa ta’ala dan takut daripada ditolaknya.
Sahabat Ali –radhiallahu ‘anhu berkata: “Mereka lebih memperhatikan dikabulkannya amal daripada amal itu sendiri. Tidakkah kamu mendengar Allah –subahanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (mengabulkan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maa’idah: 27).
Dari Fadhalah bin ‘Ubaid –rahimahullah berkata: Sekiranya aku mengetahui bahwa amalku ada yang dikabulkan sekecil biji sawi, hal itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya, karena Allah –subahanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (mengabulkan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maa’idah: 27).
Berkata Malik bin Dinar –rahimahullah: Takut akan tidak dikabulkannya amal adalah lebih berat dari amal itu sendiri.
Berkata Abdul Aziz bin Abi Rawwaad –rahimahullah: Aku menjumpai mereka (salafush shaleh) bersungguh-sungguh dalam beramal, apabila telah mengerjakannya mereka ditimpa kegelisahan apakah amal mereka dikabulkan ataukah tidak?
Berkata sebagian salaf –rahimahumullah: Mereka (para salafush shaleh) berdoa kepada Allah–subahanahu wa ta’ala selama enam bulan agar dipertemukan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada Allah –subahanahu wa ta’ala selama enam bulan agar amal mereka dikabulkan.
Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah keluar pada hari raya Iedul Fitri dan berkata dalam khutbahnya: Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah berpuasa karena Allah –subahanahu wa ta’ala selama tiga puluh hari, dan kamu shalat (tarawih) selama tiga puluh hari pula, dan hari ini kamu keluar untuk meminta kepada Allah –subahanahu wa ta’ala agar dikabulkan amalmu.
Sebagian salaf tampak bersedih ketika hari raya Iedul Fitri, lalu dikatakan kepadanya: Ini adalah hari kesenangan dan kegembiraan. Dia menjawab: Kamu benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang diperintah oleh Tuhanku untuk beramal karenaNya, dan aku tidak tahu apakah Dia mengabulkan amalku atau tidak?.
Bagaimana Agar Amal Dikabulkan?
Allah –subahanahu wa ta’ala tidak akan menerima suatu amalan kecuali ada padanya dua syarat, yaitu: Ikhlas karena Allah –subahanahu wa ta’ala semata dan mutaba’atus sunnah atau mengikuti sunnah Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Allah –subahanahu wa ta’ala berfirman : “(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Al-Fudhail bin ‘Iyad –rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut dengan yang lebih baik amalnya adalah yang ikhlas karena Allah –subahanahu wa ta’ala semata dan mengikuti sunnah Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Ikhlas Dalam Beramal
Ikhlas adalah mendekatkan diri kepada Allah –subahanahu wa ta’ala dengan melakukan ketaatan dan membersihkan niat dan hati dari segala yang mengotorinya. Ikhlas adalah beramal karena Allah –subahanahu wa ta’ala semata dan membersihkan hati dan niat dari yang selain Allah –subahanahu wa ta’ala.
Ikhlas adalah amalan yang berat karena hawa nafsu tidak mendapatkan bagian sedikitpun, namun kita harus selalu melatih diri kita sehingga menjadi mudah dan terbiasa untuk ikhlas.
Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan hanya mengharapkan wajahNya.” (HR. An-Nasa’i dengan sanad hasan).
Seorang hamba tidak akan bisa selamat dari godaan syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas saja, sebagaima firman Allah –subahanahu wa ta’ala yang mengkisahkan tentang iblis: “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Shaad: 82-83).
Orang yang ikhlas adalah orang yang beramal karena Allah –subahanahu wa ta’ala semata dan mengharapkan kebahagiaan abadi di kampung akhirat, hatinya bersih dari niat-niat lain yang mengotorinya.
Berkata Ya’kub -rahimahullah: “Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.”
Orang yang tidak ikhlas adalah orang yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia seperti, ingin mendapatkan harta, kedudukan, jabatan, pangkat, kehormatan, pujian, riya’ dll.
Orang yang tidak ikhlas adalah orang yang rugi karena hari kiamat kelak mereka tidak mendapatkan apa-apa dari amalan mereka selama di dunia, bahkan Allah –subahanahu wa ta’ala murka kepada mereka dan memberikan hukuman yang setimpal,
“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az-Zumar: 48) .
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqaan:23)
Beramal Sesuai Sunnah / Mutaba’atus Sunnah
Mutaba’ah adalah melakukan amalan yang sesuai sunnah Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam karena setiap amalan ibadah yang tidak dicontohkan Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pasti ditolak dan tidak diterima oleh Allah –subahanahu wa ta’ala. Jadi semua ibadah yang kita kerjakan harus ada contoh, ajaran dan perintah dari Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan kita dilarang melakukan suatu amal ibadah yang tidak ada contoh, ajaran dan perintah dari Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada ajarannya dari kami maka amalnya tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda pula: “Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam agama kami yang tidak ada ajarannya maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berkata Ibnu Rajab –rahimahullah: “Hadis ini adalah salah satu prinsip agung (ushul) dari prinsip-prinsip Islam dan merupakan parameter amal perbuatan yang lahir (terlihat), sebagaimana hadis “Innamal a’maalu binniyyaat…” (Hadis tentang niat), adalah merupakan parameter amal perbuatan yang batin (tidak terlihat). Sebagaimana seluruh amal perbuatan yang tidak dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah –subahanahu wa ta’ala maka pelakunya tidak mendapatkan pahala, maka demikian pula halnya segala amal perbuatan yang tidak atas dasar perintah Allah –subahanahu wa ta’ala dan RasulNya –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah –subahanahu wa ta’ala dan RasulNya –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikitpun.”
Beliau berkata pula: “Makna hadis (diatas adalah): bahwa barangsiapa amal perbuatannya keluar dari syari’at dan tidak terikat dengannya, maka tertolak.”
Berkata Ibnu Daqiq Al-‘Ied –rahimahullah: “Hadis ini adalah salah satu kaidah agung dari kaidah-kaidah agama dan ia merupakan jawami’ul kalim (kata-kata yang singkat namun padat) yang diberikan kepada Al-Musthafa –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, karena sesungguhnya ia (hadis ini) dengan jelas merupakan penolakan semua bid’ah dan segala yang dibuat-buat (dalam perkara agama).”
Allah –subahanahu wa ta’ala berfirman: “Katakanlah –wahai Rasulullah-: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, pasti Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Allah –subahanahu wa ta’ala berfirman: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, karena semua perkara baru (bid’ah) dalan agama adalah tersesat.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dll).
by :Abdullah Shaleh Hadrami/ASH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar